Aku Latofu. Aku tinggal di sebuah pondok jualan tahu kecil, di
pinggiran jalan. Berdinding kayu mahoni dan beratap terpal berwarna biru
yang sudah mulai memucat. tak ada yang menonjol dari pondok pinggiran
ini. Hanya sebuah papan nama bertuliskan “ Pondok Tofu Bu Ajeng “ yang
digantung di depan pondok ini. Dibantu oleh sebuah paku yang mulai
lanjut usia. Pemilik kedai ini Bu Ajeng. Walaupun umurnya sudah 50
tahun, tapi wajahnya masih kelihatan seperti tante tante 30 tahunan. Ya
secara fisik terlalu cepat digolongkan wanita tua seperti itu.
Badanku menggigil seketika. Bagaimana tidak ? pagi pagi buta seperti
ini, wanita itu sudah menjajalkan aku beserta seisi keluarga ku. Dipaksa
telanjang tanpa ditutupi sehelai benang dan berdiri diatas papan
jualan. Teganya sesekali Dia memercikan sedikit air. Biar kami semua
kelihatan sedikit lebih segar. Berdiri bak model patung di Fashion shop.
Sambil menunggu ada yang datang untuk membeli kami. Menyaksikan orang
berlalu lalang, bercanda dan tertawa adalah Hiburan kecil, yang bisa
kami miliki sebelum kami berpisah.
Banyak cerita yang dituturkan pendahulu kami yang telah lebih dulu
dibawa pergi. Bahwasanya akan ada kehidupan baru. Itulah kenapa sampai
saat ini aku selalu merasa tegar menghadapi kenyataan hidup sebagai
sebuah Tofu Jalanan
Jelas masa depan kami, nafas kami, hidup dan seluruh harapan kami yang
hanya akan kandas di dasar kuali gorengan di akhir cerita ini.
* * *
Mataku tetap terjaga sedari tadi. Aku hanya benar – benar tak ingin
kehilangan moment ini. Moment – moment dimana hanya akan ku kenang,
setelah hidupku dilahap habis manusia bengis itu.
“ Bu saya beli tahunya ya ! “ suara seorang Ibu yang mendadak membuat
buyar renungan singkat ku siang itu. Aku mengangkat wajah, dan menoleh
ke arah datangnya suara asing itu. Kudapati sesungging senyum tulus
bersemayam di sana. Di bibir wanita itu. Sudah pasti, kusunggingkan
senyum manis andalan ku untuk membalasnya.
“ Berapa Banyak Bu ? “ tanya Bu Ajeng, sembari mengeluarkan tas
kreseknya dan sejenak berhenti dari proyek kecilnya memotong bawang. Bu
Ajeng beranjak dari tempat duduknya, dan Kemudian perlahan ke mari.
matanya tampak berkaca – kaca. Tangannya mulai sibuk mengangkat kami
satu per satu ke dalam tas kresek berwarna putih itu.
Air mata Bu Ajeng sedikit bercucuran dan sempat jatuh membasahi
pelipis mataku. Kurasakan tetesnya mengalir di atas kulitku, kemudian
perlahan jatuh sampai ke bawah. Gumamku, apakah Bu Ajeng sedang
menangisi nasib kami. mungkinkah cukup berat baginya untuk melepaskan
kami pergi ? ataukah tidak sama sekali. semuanya hanyalah efek yang
biasa terjadi dari prosesi kecil memotong bawang. Sehingga membuat
matanya perih dan akhirnya berkaca – kaca seperti itu. Entalah alasan
tepatnya aku kurang tahu. Namun jika melihat Bu Ajeng seperti ini, cukup
membuat ku tenggelam dalam perasaan terharu.
“ tiga puluh Biji “ jawab ibu itu, dengan Matanya yang sibuk jelalatan memandang kami.
“ tiga puluh Biji…” gumamku. Itu artinya seisi keluargaku, termasuk aku.
kataku dalam hati. Aku mulai hitung demi memastikan jumlah kami semua
ada 30.
“ Berapa Bu harganya ?” tangan ibu itu dilancarkan ke belakang.
Menuju saku belakang celana jeansnya yang berwarna biru kehitaman, yang
dia pakai siang itu. Walaupun agak sedikit kewalahan menggapai sakunya.
namun, kami tak dibuat lama menunggu. Dengan segera tangannya
menjulurkan sebuah dompet kulit buaya berwarna cokelat.
“ semuanya ada tujuh puluh lima ribu rupiah “ seru Bu Ajeng. memberitahu harga keseluruhan yang harus dibayar Ibu itu.
“ Ini Bu, uangnya. Kembaliannya tidak usah. Diambil buat Ibu saja. “ ibu
pemilik dompet kulit buaya itu menyodorkan 4 lembar uang senilai dua
puluh ribu rupiah.
Pikir ku penuh heran. Bagaimana mungkin dengan uang sebesar dua ribu
lima ratus itu aku bisa ditukarkan. Bisa dibilang harga yang tidak
tergolong fantastis . Jangan tanyakan aku bagaimana aku dapat
menghitungnya. Tak terlalu sulit bagiku untuk dapat mengetahui hasil
akhir dari rumus matematika rumit yang ku pasang. Total harga dibagi
jumlah barang itulah rumus matematikanya. Rumus ini kupelajari dari pak
Bodi. Seorang aktifis pendidikan yang sempat tinggal bersama kami. Dan
mengabdikan seluruh hidupnya untuk membagi ilmu perhitungan yang ajaib
ini. Namun tak lama hanya dua bulan saja. setelah kejadiaan nahas,
beberapa waktu lalu merenggut nyawanya. Dia terjatuh dari papan jualan
saat dan kemudian hancur tergilas ban sepeda, yang melaju kencang
melewati pondok ini. Benar benar tragis.
“ Makasih Bu saya permisi ! “ seru ibu bercelana jeans biru kehitaman
itu. Perlahan dia mengangkat kakinya dan beranjak dari tempat itu. Tak
lupa juga kami dibawah pergi olehnya. Dan aku sudah cukup sadar, mulai
detik ini kami semua sudah benar – benar jadi milik wanita itu.
“ Mari Bu sama – sama “ jawab Bu ajeng sembari mulai membersihkan papan
jualannya tempat kami berpose sebelum ada di dalam tas kresek ini.
***
Area bidik mataku masih tetap pada sasarannya yaitu Bu ajeng dan pondok
tofu doyong miliknya. Ku manfaatkan bagian tas kresek yang agak sobek
untuk bisa tetap melihatnya, atau seraya melambaikan tanganku sebagai
tanda perpisahan dengannya. Namun sungguh disayangkan tak ada balasan
yang berarti yang dapat ku terima darinya. Sepertinya Bu ajeng lebih
memilih menyibukan dirinya untuk membereskan pondok tua itu, ketimbang
memberiku salam perpisahan.
Suara gaduh tiba – tiba pecah mengalihkan perhatian ku dari Bu Ajeng
dan pondok tofu miliknya. Entah apa yang membuat makhluk – makhluk ini
menjadi begitu risau sehingga membuat keadaan menjadi Gaduh. Wajah –
wajah mereka menaruh takut. Beberapa di antara mereka menangis sambil
berpelukan bersama. Sudah pasti keadaan mulai panik. Kabarnya mereka
mendengar isu buruk tentang nasib kami. Ya kami semua akan direndam
dalam minyak panas di sebuah kuali raksasa. Dan lebih mencengangkan
kuali raksasa itu milik ibu ini. Begitulah bunyi isu yang cukup berhasil
membuat keadaan menjadi kacau.
“ Ada apa ini ? Tenang semuanya…tenang !!!“ seruku memecah kekacauan.
Satu – persatu ku tatap wajahnya. Mereka membalasnya dengan tatapan
penuh harap. Memohon agar isu itu tak benar adanya.
“ Apa yang kalian takutkan ? Jika ini jalan kita, Mari kita Ikhlaskan “
astaga baru aku sadar, aku salah berorasi. Semua tidak berjalan sesuai
rencana. Kata – kata yang baru saja aku keluarkan malah menambah
kesedihan mereka. Wajahku serasa ditampar saat itu juga. Kurasakan
hangat mengalir di sana kemudian berangsur merah. Barulah ku rasakan
rasa bersalah. Aku menyesal memakai kalimat pembunuh semangat seperti
itu. Aku hanya takut mereka memilih mengakhiri hidup mereka ketika
mendengar kalimat itu, dan segera melemparkan diri mereka keluar dari
tas kresek ini, daripada harus menderita menahan panas saat tenggelam
dalam minyak goreng di kuali raksasa itu.
Lanjutku “ Baiklah sebaiknya kita berdoa saja “ perlahan keadaan
menjadi begitu tenang dan penuh hikmat. secara serentak mereka semua
menutup mata. Melipatkan tangan, menengadahkan kepala ke atas dan
kemudian mengucapkan doa dengan penuh percaya.
Saat ini kami hanya butuh keajaiban apapun bentuk dan wujudnya. Yang
terpenting bagi kami bisa terhindar dari hembusan isu miring itu.
***
Aku memilih menyendiri di pojokan. Duduk kemudian mencoba
beristirahat. Pinggang – pinggangku terasa begitu pegal, Kaku, dan tak
bisa digerakan. Tak bisa dipungkiri, Aku terlalu capek ketika berdiri
seharian di lapak siang tadi. Sedikit waktu untuk beristirahat mungkin
akan membuat keadaan tubuh ku pulih kembali. Perlahan ku rasakan kedua
bola mataku tak tertahankan. sungguh aku begitu ngantuk. Ku biarkan
keadaan menguasai ku, terlelap sejenak untuk melepas penat. Dan siang
itu ku habiskan dengan tidur yang panjang. Hingga aku terbangun oleh
dinginnya malam.
“ Brrrrrr…..” tubuhku bergetar hebat karena kedinginan. Aku membuka
mata yang masih menyipit karena kantuk yang tersisa. Ternyata bukan aku
saja. Semuapun merasakan hal yang sama. malahan mereka lebih dulu
terbangun dan bergelut dengan dingin yang tak tertahankan. Bau tempat
ini juga – benar benar aneh. sampai – sampai hidungku tak dapat
mengenali. Ada bau apel bercampur anggur, jeruk, minuman bersoda sampai
bau buah – buahan yang membusuk dan masih banyak lagi sebenarnya.
Semuanya bercampur aduk hingga membuat baunya sungguh tak karuan.
Selang beberapa menit pintu dibuka. Tangan Si Ibu itu mengangkat kami
semua keluar dari tempat aneh ini. Sekarang aku tak lagi merasakan
dingin yang menusuk tulang tetapi hangatlah yang ku rasa. Si Ibu
akhirnya membuka tas kresek ini dan mengeluarkan kami satu persatu.
Semua kami tampak begitu pucat dan lemas. Dingin yang menggila sejak
tadi malamlah penyebab kondisi kami yang memburuk. Secepat kilat dia
menenggelamkan kami ke dalam sedikit air sebelum dilumuri di atas tepung
halus yang lembut. Kami diatur berderet – deret di atas sebuah papan
dekat dengan wajan yang sedang dijilat lidah api dari kompor di
bawahnya.
Antrian panjang sebelum masuk ke wajan panas cukup menyedihkan.
Rasanya seperti sedang menahan waktu untuk bernegosiasi dengan malaikat
pencabut nyawa. Peluh dingin mulai bercucuran. Rona wajah kami semua
serentak berubah pasih. Di tempat lain di dapur ini, Si Ibu sedang asik
menyiapkan bumbu. Gelegak minyak panas yang ku dengar dan gumpalan asap
tipis – tipis dari dalam wajan yang ku lihat, membuatku memilih untuk
tidak menikmati pemandangan menyedihkan seperti ini.
Ku lihat lagi Ibu itu berdiri dan berjalan ke arah kami. Di tangan
kanannya, dia memegang sebuah sebuah sendok berukuran besar. Sedangkan
tangan satunya lagi mengenggam sebuah wadah berisikan bumbu halus yang
telah dia ulek sedari tadi.
“ Sedikit Lagi “ Gumamku dalam hati. Sepertinya riwayatku akan segera
berakhir di tempat ini. Sekarang dia berhenti tepat di depan ku. Dia
mengangkatku dengan sendok jahanam itu dan kemudian perlahan memasukan
ku ke dalam wajan panas. Sekarang posisi ku sudah berada tepat di atas
wajan itu – zona terlarang dan berbahaya bagi kami -. Sedikit goyangan
maka bisa mebuatku terjatuh, dan tentu saja semuanya akan selesai.
“ Ibu…. ! Pekik seorang anak gadis berambut keriting, dan berbaju merah
sumringah bunga mawar yang sedang berdiri di mulut pintu. Sepertinya dia
baru saja berlari marathon. Napasnya terengah-engah. Setelah 5 menit,
barulah dia angkat bicara. Aku menarik napas lega. Kedatangan anak ini
yang mendadak, setidaknya meberiku waktu agar hidup sedikit lebih lama.
Karena Ibu ini mengambil sedikit jeda untuk menceburkan ku ke dalam
wajan panas miliknya. Sehingga dia meletakan ku kembali ke dalam
antrian.
Anak gadis itu mengernyitkan dahi “ Bu tahu – tahu Bu Ajeng yang kemarin
Ibu beli di Pondok, ibu apakan ? udah dimasak ? Tanya anak gadis itu
ingin tahu.
“ Belom… Ini mau digoreng. Kenapa emangnya ? wajah kamu kok khawatir gitu ?
Anak gadis itu berjalan pelan ke tempat kami diletakan “ Anu Bu, sebaiknya tahu – tahu itu dibuang saja !!! “
“ Ah…kamu ngaco ngomongnya. Memangnya ada apa sampai kamu meminta Ibu
membuangnya ? “ Si ibu menoleh ke arah gadis itu, dengan tatapan
menerawang seolah tak percaya. Dia hanya ingin memastikan kalau otak
anaknya ini tidak terlalu senewen, gara – gara kemarin kepala anak itu
tertimpa keras beberapa buku dari rak ayahnya.
“ Ia aku serius Bu. Jadi begini tadi aku lewat pondok tofu Bu Ajeng. Nah
di situ aku lihat pondoknya ramai. Beberapa dari mereka berpakaian
dinas hijau. Trus pas aku cek lagi ternyata, orang – orang berpakaian
dinas hijau tadi itu adalah petugas dari BPOM. “
“ Ya lalu ? “ Tanya ibu itu seraya ingin tahu.
“ Dan setelah aku dengar pernyataan dari mereka, ternyata mereka menemukan kandungan boraks berlebihan pada tahu – tahu itu. “
Wajah Si Ibu berubah kaku dan mulutnya mengagah seolah tak percaya “
Astaga …baiklah. Ibu pergi sebentar. Tolong kamu matikan kompornya !”
Dia bergegas menghilang. Tentu saja kami semua bahagia bukan kepalang.
Doa kami sewaktu masih di dalam tas kresek dijawab. Dan baru ku tahu
manusia – manusia bodoh itu takut mati. Aku bersyukur tidak menjadi
gorengan tahu di akhir cerita ini.
Januari 21, 2014
/
by
Herry
/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar