Selasa, 21 Januari 2014

La Tofu


         Aku Latofu. Aku tinggal di sebuah pondok jualan tahu kecil, di pinggiran jalan. Berdinding kayu mahoni dan beratap terpal berwarna biru yang sudah mulai memucat. tak ada yang menonjol dari pondok pinggiran ini. Hanya sebuah papan nama bertuliskan “ Pondok Tofu Bu Ajeng “ yang digantung di depan pondok ini. Dibantu oleh sebuah paku yang mulai lanjut usia. Pemilik kedai ini Bu Ajeng. Walaupun umurnya sudah 50 tahun, tapi wajahnya masih kelihatan seperti tante tante 30 tahunan. Ya secara fisik terlalu cepat digolongkan wanita tua seperti itu.

         Badanku menggigil seketika. Bagaimana tidak ? pagi pagi buta seperti ini, wanita itu sudah menjajalkan aku beserta seisi keluarga ku. Dipaksa telanjang tanpa ditutupi sehelai benang dan berdiri diatas papan jualan. Teganya sesekali Dia memercikan sedikit air. Biar kami semua kelihatan sedikit lebih segar. Berdiri bak model patung di Fashion shop. Sambil menunggu ada yang datang untuk membeli kami. Menyaksikan orang berlalu lalang, bercanda dan tertawa adalah Hiburan kecil, yang bisa kami miliki sebelum kami berpisah.

          Banyak cerita yang dituturkan pendahulu kami yang telah lebih dulu dibawa pergi. Bahwasanya akan ada kehidupan baru. Itulah kenapa sampai saat ini aku selalu merasa tegar menghadapi kenyataan hidup sebagai sebuah Tofu Jalanan

Jelas masa depan kami, nafas kami, hidup dan seluruh harapan kami yang hanya akan kandas di dasar kuali gorengan di akhir cerita ini.

* * *

         Mataku tetap terjaga sedari tadi. Aku hanya benar – benar tak ingin kehilangan moment ini. Moment – moment dimana hanya akan ku kenang, setelah hidupku dilahap habis manusia bengis itu.

“ Bu saya beli tahunya ya ! “ suara seorang Ibu yang mendadak membuat buyar renungan singkat ku siang itu. Aku mengangkat wajah, dan menoleh ke arah datangnya suara asing itu. Kudapati sesungging senyum tulus bersemayam di sana. Di bibir wanita itu. Sudah pasti, kusunggingkan senyum manis andalan ku untuk membalasnya.

“ Berapa Banyak Bu ? “ tanya Bu Ajeng, sembari mengeluarkan tas kreseknya dan sejenak berhenti dari proyek kecilnya memotong bawang. Bu Ajeng beranjak dari tempat duduknya, dan Kemudian perlahan ke mari. matanya tampak berkaca – kaca. Tangannya mulai sibuk mengangkat kami satu per satu ke dalam tas kresek berwarna putih itu.

       Air mata Bu Ajeng sedikit bercucuran dan sempat jatuh membasahi pelipis mataku. Kurasakan tetesnya mengalir di atas kulitku, kemudian perlahan jatuh sampai ke bawah. Gumamku, apakah Bu Ajeng sedang menangisi nasib kami. mungkinkah cukup berat baginya untuk melepaskan kami pergi ? ataukah tidak sama sekali. semuanya hanyalah efek yang biasa terjadi dari prosesi kecil memotong bawang. Sehingga membuat matanya perih dan akhirnya berkaca – kaca seperti itu. Entalah alasan tepatnya aku kurang tahu. Namun jika melihat Bu Ajeng seperti ini, cukup membuat ku tenggelam dalam perasaan terharu.

“ tiga puluh Biji “ jawab ibu itu, dengan Matanya yang sibuk jelalatan memandang kami.

“ tiga puluh Biji…” gumamku. Itu artinya seisi keluargaku, termasuk aku. kataku dalam hati. Aku mulai hitung demi memastikan jumlah kami semua ada 30.

     “ Berapa Bu harganya ?” tangan ibu itu dilancarkan ke belakang. Menuju saku belakang celana jeansnya yang berwarna biru kehitaman, yang dia pakai siang itu. Walaupun agak sedikit kewalahan menggapai sakunya. namun, kami tak dibuat lama menunggu. Dengan segera tangannya menjulurkan sebuah dompet kulit buaya berwarna cokelat.

       “ semuanya ada tujuh puluh lima ribu rupiah “ seru Bu Ajeng. memberitahu harga keseluruhan yang harus dibayar Ibu itu.

       “ Ini Bu, uangnya. Kembaliannya tidak usah. Diambil buat Ibu saja. “ ibu pemilik dompet kulit buaya itu menyodorkan 4 lembar uang senilai dua puluh ribu rupiah.

Pikir ku penuh heran. Bagaimana mungkin dengan uang sebesar dua ribu lima ratus itu aku bisa ditukarkan. Bisa dibilang harga yang tidak tergolong fantastis . Jangan tanyakan aku bagaimana aku dapat menghitungnya. Tak terlalu sulit bagiku untuk dapat mengetahui hasil akhir dari rumus matematika rumit yang ku pasang. Total harga dibagi jumlah barang itulah rumus matematikanya. Rumus ini kupelajari dari pak Bodi. Seorang aktifis pendidikan yang sempat tinggal bersama kami. Dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk membagi ilmu perhitungan yang ajaib ini. Namun tak lama hanya dua bulan saja. setelah kejadiaan nahas, beberapa waktu lalu merenggut nyawanya. Dia terjatuh dari papan jualan saat dan kemudian hancur tergilas ban sepeda, yang melaju kencang melewati pondok ini. Benar benar tragis.

       “ Makasih Bu saya permisi ! “ seru ibu bercelana jeans biru kehitaman itu. Perlahan dia mengangkat kakinya dan beranjak dari tempat itu. Tak lupa juga kami dibawah pergi olehnya. Dan aku sudah cukup sadar, mulai detik ini kami semua sudah benar – benar jadi milik wanita itu.

       “ Mari Bu sama – sama “ jawab Bu ajeng sembari mulai membersihkan papan jualannya tempat kami berpose sebelum ada di dalam tas kresek ini.

***

         Area bidik mataku masih tetap pada sasarannya yaitu Bu ajeng dan pondok tofu doyong miliknya. Ku manfaatkan bagian tas kresek yang agak sobek untuk bisa tetap melihatnya, atau seraya melambaikan tanganku sebagai tanda perpisahan dengannya. Namun sungguh disayangkan tak ada balasan yang berarti yang dapat ku terima darinya. Sepertinya Bu ajeng lebih memilih menyibukan dirinya untuk membereskan pondok tua itu, ketimbang memberiku salam perpisahan.

        Suara gaduh tiba – tiba pecah mengalihkan perhatian ku dari Bu Ajeng dan pondok tofu miliknya. Entah apa yang membuat makhluk – makhluk ini menjadi begitu risau sehingga membuat keadaan menjadi Gaduh. Wajah – wajah mereka menaruh takut. Beberapa di antara mereka menangis sambil berpelukan bersama. Sudah pasti keadaan mulai panik. Kabarnya mereka mendengar isu buruk tentang nasib kami. Ya kami semua akan direndam dalam minyak panas di sebuah kuali raksasa. Dan lebih mencengangkan kuali raksasa itu milik ibu ini. Begitulah bunyi isu yang cukup berhasil membuat keadaan menjadi kacau.

         “ Ada apa ini ? Tenang semuanya…tenang !!!“ seruku memecah kekacauan. Satu – persatu ku tatap wajahnya. Mereka membalasnya dengan tatapan penuh harap. Memohon agar isu itu tak benar adanya.

“ Apa yang kalian takutkan ? Jika ini jalan kita, Mari kita Ikhlaskan “ astaga baru aku sadar, aku salah berorasi. Semua tidak berjalan sesuai rencana. Kata – kata yang baru saja aku keluarkan malah menambah kesedihan mereka. Wajahku serasa ditampar saat itu juga. Kurasakan hangat mengalir di sana kemudian berangsur merah. Barulah ku rasakan rasa bersalah. Aku menyesal memakai kalimat pembunuh semangat seperti itu. Aku hanya takut mereka memilih mengakhiri hidup mereka ketika mendengar kalimat itu, dan segera melemparkan diri mereka keluar dari tas kresek ini, daripada harus menderita menahan panas saat tenggelam dalam minyak goreng di kuali raksasa itu.

         Lanjutku “ Baiklah sebaiknya kita berdoa saja “ perlahan keadaan menjadi begitu tenang dan penuh hikmat. secara serentak mereka semua menutup mata. Melipatkan tangan, menengadahkan kepala ke atas dan kemudian mengucapkan doa dengan penuh percaya.

        Saat ini kami hanya butuh keajaiban apapun bentuk dan wujudnya. Yang terpenting bagi kami bisa terhindar dari hembusan isu miring itu.

***

        Aku memilih menyendiri di pojokan. Duduk kemudian mencoba beristirahat. Pinggang – pinggangku terasa begitu pegal, Kaku, dan tak bisa digerakan. Tak bisa dipungkiri, Aku terlalu capek ketika berdiri seharian di lapak siang tadi. Sedikit waktu untuk beristirahat mungkin akan membuat keadaan tubuh ku pulih kembali. Perlahan ku rasakan kedua bola mataku tak tertahankan. sungguh aku begitu ngantuk. Ku biarkan keadaan menguasai ku, terlelap sejenak untuk melepas penat. Dan siang itu ku habiskan dengan tidur yang panjang. Hingga aku terbangun oleh dinginnya malam.

       “ Brrrrrr…..” tubuhku bergetar hebat karena kedinginan. Aku membuka mata yang masih menyipit karena kantuk yang tersisa. Ternyata bukan aku saja. Semuapun merasakan hal yang sama. malahan mereka lebih dulu terbangun dan bergelut dengan dingin yang tak tertahankan. Bau tempat ini juga – benar benar aneh. sampai – sampai hidungku tak dapat mengenali. Ada bau apel bercampur anggur, jeruk, minuman bersoda sampai bau buah – buahan yang membusuk dan masih banyak lagi sebenarnya. Semuanya bercampur aduk hingga membuat baunya sungguh tak karuan.

Selang beberapa menit pintu dibuka. Tangan Si Ibu itu mengangkat kami semua keluar dari tempat aneh ini. Sekarang aku tak lagi merasakan dingin yang menusuk tulang tetapi hangatlah yang ku rasa. Si Ibu akhirnya membuka tas kresek ini dan mengeluarkan kami satu persatu. Semua kami tampak begitu pucat dan lemas. Dingin yang menggila sejak tadi malamlah penyebab kondisi kami yang memburuk. Secepat kilat dia menenggelamkan kami ke dalam sedikit air sebelum dilumuri di atas tepung halus yang lembut. Kami diatur berderet – deret di atas sebuah papan dekat dengan wajan yang sedang dijilat lidah api dari kompor di bawahnya.

          Antrian panjang sebelum masuk ke wajan panas cukup menyedihkan. Rasanya seperti sedang menahan waktu untuk bernegosiasi dengan malaikat pencabut nyawa. Peluh dingin mulai bercucuran. Rona wajah kami semua serentak berubah pasih. Di tempat lain di dapur ini, Si Ibu sedang asik menyiapkan bumbu. Gelegak minyak panas yang ku dengar dan gumpalan asap tipis – tipis dari dalam wajan yang ku lihat, membuatku memilih untuk tidak menikmati pemandangan menyedihkan seperti ini.

Ku lihat lagi Ibu itu berdiri dan berjalan ke arah kami. Di tangan kanannya, dia memegang sebuah sebuah sendok berukuran besar. Sedangkan tangan satunya lagi mengenggam sebuah wadah berisikan bumbu halus yang telah dia ulek sedari tadi.

“ Sedikit Lagi “ Gumamku dalam hati. Sepertinya riwayatku akan segera berakhir di tempat ini. Sekarang dia berhenti tepat di depan ku. Dia mengangkatku dengan sendok jahanam itu dan kemudian perlahan memasukan ku ke dalam wajan panas. Sekarang posisi ku sudah berada tepat di atas wajan itu – zona terlarang dan berbahaya bagi kami -. Sedikit goyangan maka bisa mebuatku terjatuh, dan tentu saja semuanya akan selesai.

        “ Ibu…. ! Pekik seorang anak gadis berambut keriting, dan berbaju merah sumringah bunga mawar yang sedang berdiri di mulut pintu. Sepertinya dia baru saja berlari marathon. Napasnya terengah-engah. Setelah 5 menit, barulah dia angkat bicara. Aku menarik napas lega. Kedatangan anak ini yang mendadak, setidaknya meberiku waktu agar hidup sedikit lebih lama. Karena Ibu ini mengambil sedikit jeda untuk menceburkan ku ke dalam wajan panas miliknya. Sehingga dia meletakan ku kembali ke dalam antrian.

Anak gadis itu mengernyitkan dahi “ Bu tahu – tahu Bu Ajeng yang kemarin Ibu beli di Pondok, ibu apakan ? udah dimasak ? Tanya anak gadis itu ingin tahu.

“ Belom… Ini mau digoreng. Kenapa emangnya ? wajah kamu kok khawatir gitu ?

Anak gadis itu berjalan pelan ke tempat kami diletakan “ Anu Bu, sebaiknya tahu – tahu itu dibuang saja !!! “

“ Ah…kamu ngaco ngomongnya. Memangnya ada apa sampai kamu meminta Ibu membuangnya ? “ Si ibu menoleh ke arah gadis itu, dengan tatapan menerawang seolah tak percaya. Dia hanya ingin memastikan kalau otak anaknya ini tidak terlalu senewen, gara – gara kemarin kepala anak itu tertimpa keras beberapa buku dari rak ayahnya.

“ Ia aku serius Bu. Jadi begini tadi aku lewat pondok tofu Bu Ajeng. Nah di situ aku lihat pondoknya ramai. Beberapa dari mereka berpakaian dinas hijau. Trus pas aku cek lagi ternyata, orang – orang berpakaian dinas hijau tadi itu adalah petugas dari BPOM. “

“ Ya lalu ? “ Tanya ibu itu seraya ingin tahu.

“ Dan setelah aku dengar pernyataan dari mereka, ternyata mereka menemukan kandungan boraks berlebihan pada tahu – tahu itu. “

Wajah Si Ibu berubah kaku dan mulutnya mengagah seolah tak percaya “ Astaga …baiklah. Ibu pergi sebentar. Tolong kamu matikan kompornya !” Dia bergegas menghilang. Tentu saja kami semua bahagia bukan kepalang. Doa kami sewaktu masih di dalam tas kresek dijawab. Dan baru ku tahu manusia – manusia bodoh itu takut mati. Aku bersyukur tidak menjadi gorengan tahu di akhir cerita ini.

Januari 21, 2014 / by / 0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad